Selasa, 01 Desember 2015

Hakikat Cintaku



Cinta tak harus kita kejar
Karena cinta seperti kupu-kupu
Semakin kita kejar
Semakin ia kan menjauh
Cinta kan datang menghampiri kita
Cinta datang menghampiri kita dengan sendirinya
Tanpa kita sadari
Ia tumbuh dan mulai bersemi dihati
Cinta dapat membuat kita bahagia
Namun terkadang cinta membuat kita sakit hati
Cinta kan jadi istimewa
Jika kita berikan kepada seseorang yang layak menerimanya
Cinta tak mencari seseorang yang sempurna
Tuk menjadikannya lebih berarti
Namun cinta mencoba tuk menemukan kesempurnaan
Cinta tak menuntut
namun mencoba tuk menerima apa adanya
Cinta saling mengerti dan memahami
Cinta sejati
Cinta yang slalu di hati
Cinta yang tak mudah menyerah dengan segala ujian
Cinta yang selalu bersatu
Cinta sejati tak akan pernah terpisah
Akan tetap selalu bersatu sekarang dan selamanya
Takkan terpisah oleh apapun
Hanya ajal yang mampu memisahkan Cinta
Tetap tersimpan dalam hati ini tuk selamanya

### 

Senin, 19 Oktober 2015

Sistem Evaluasi Pembelajaran (TES)


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar sebagai bagian dari peningkatan pendidikan dapat dilakukan dengan melalui sistem evaluasi atau sistem penilaian. Dalam penilaian proses kegiatan belajar dan mengajar di sekolah perlu diperhatikan beberapa aspek penting yang berkaitan dengan kualitas lulusan. Aspek-aspek penting tersebut adalah : pemilihan alat penilaian, penyusunan soal, pengolahan dan interprestasi data hasil penilaian, analisis butir soal untuk memperoleh kualitas soal yang memadai, serta pemanfaatan data hasil penilaian.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa kemampuasn guru mutlak sangat diperlukan untuk membantu suksesnya tujuan pendidikan. Dalam mengevaluasi pembelajaran, tidaklah lepas dari syarat-syarat yang harus ditempuh dalam kegiatan evaluasi pembelajaran. Hal itu perlu ada, tentunya agar dihasilkan suatu tes yang bermutu dan dapat menambah penguasaan materi yang telah disampaikan sebelumnya. Oleh sebab itu, kami akan membahas secara rinci mengenai syarat-syarat perencanaan dan penyusunan tes pembelajaran.
    B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan menjadi bahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa syarat dari perencanaan tes evaluasi pembelajaran?
2.      Apa yang menjadi syarat penyusunan tes evaluasi pembelajaran?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Syarat Perencanaan Tes Evaluasi Pembelajaran
Tes merupakan alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur susuatu dalam suasana, dengan cara dan aturan yang sudah ditentukan. Untuk mengerjakan tes ini tergantung dari petunjuk yang diberikan, misalnya melingkari salah satu huruf di depan pilihan jawaban dan sebagainya.[1]
Tes sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk dijawab melalui lisan (tes lisan), dalam bentuk tulisan (tes tertulis) ataupun dalam bentuk perbuatan (tes tindakan).[2] Dalam hal tersebut dibutuhkan ketrampilan dan kecakapan guru dalam kegiatan evaluasi pembelajaran tersebut, agar hasil kegiatan belajar mengajar dapat maksimal.
Dalam perencanaan tes evaluasi terdapat 2 syarat dasar tes yang harus diperhatikan, yaitu hal menyangkut mutu tes dan menyangkut administrasi pelaksanaan tes. Sebelum melakukan evaluasi pembelajaran, langkah awal yang harus dilakukan adalah perencanaan secara baik dan matang.
Perencanaan evaluasi hasil pada umumnya mencakup 6 (enam) jenis kegiatan, yaitu sebagai berikut :
1.      Merumuskan tujuan dilaksanakan evaluasi : perumusan tujuan sangat penting dilakukan, karena tanpa tujuan yang jelas maka evaluasi hasil belajar akan berjalan tanpa arah.
2.      Menetapkan aspek-aspek yang akan dievaluasi : misalnya aspek kognitif, afektif ataukah psikomotorik.
3.      Memilih dan menentukan teknik apakah yang akan digunakan dalam pelaksanaan evaluasi.
4.      Menyusun alat-alat pengukur yang akan dipergunakan dalam pengukuran dan penilaian hasil belajar peserta didik.
5.      Menentukan tolak ukur, norma atau kriteria yang akan dijadikan pegangan atau patokan dalam memberikan interprestasi terhadap data hasil evaluasi.
6.      Menentukan frekuensi dari kegiatan evaluasi hasil belajar itu sendiri (kapan dan berapa kali tes tersebut akan dilaksanakan).[3]

Dalam merencanakan tes evaluasi pembelajaran, diharuskan untuk memenuhi persyaratan tes yang baik, yaitu :
a.       Validitas
Validitas atau ketepatan, artinya yaitu suatu data dikatakan valid apabila sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Data tersebut dapat memberikan gambaran tentang data secara benar sesuai dengan kenyataan atau keadaan yang sesungguhnya.
b.      Reliabilitas
Reliabilitas artinya adalah dapat dipercaya. Suatu tes bisa dikatakan reliabilitas jika memberikan hasil yang tetap apabila diteskan kepada siswa beberapa kali akan menunjukkan ketetapan.
c.       Objektivitas
Objektivitas berarti tidak ada unsur pribadi yang mempengaruhi terutama dalam kegiatan penskoran atau sistem skoringnya.
Apabila dikaitkan dengan reliabilitas maka objektivitas menekankan ketetapan (consistency) pada system skoring, sedangkan reliabilitas menekankan ketetapan dalam hasil tes.[4]
d.      Praktikabilitas
Tes yang diadakan bersifat praktis dan mudah diterapkan.
e.       Ekonomis
Pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama. [5]
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat persyaratan-persyaratan lain yang perlu diperhatikan dalam perencanaan evaluasi pembelajaran (tes), yaitu :
1.      Memiliki tujuan yang jelas.
2.      Bersifat sederhana, yaitu perencanaan tersebut tidak terlalu muluk-muluk sehingga dapat diterapkan dalam penyusunan tes dan pelaksanaannya.
3.      Memuat analisis-analisis terhadap pekerjaan yang dikerjakan.
4.      Bersifat fleksibel, rencana dapat berubah sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada.
5.      Memiliki keseimbangan atau kesamaan antara tes dan materi yang diajarkan.
6.      Memiliki kesan bahwa segala sesuatu itu telah ada dan dapat dimanfaatkan secara efektif dan daya guna.
Adanya beberapa persyaratan diatas, berfungsi sebagai tolak ukur yang dapat dijadikan patokan dalam pengadaan tes.
B.     Syarat Penyusunan Tes Evaluasi Pembelajaran
Penyusunan sebuah tes harus memegang beberapa prinsip penyusunan tes yang baik. Adapun prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dan diterapkan, agar tes tersebut dapat menjadi tolak ukur tercapainya tujuan pembelajaran mata pelajaran tertentu adalah sebagai tersebut :
1.      Tes hasil belajar harus dapat mengukur secara jelas hasil belajar yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan instruksional.
2.      Butir-butir soal tes merupakan sampel yang representative dari populasi bahan pelajaran yang telah diajarkan.
3.      Bentuk soal tes harus dibuat bervariasi, sehingga hasil tes cocok dengan tujuan tes itu sendiri.
4.      Tes harus didesain dengan kegunaannya untuk memperoleh hasil yang diinginkan.
5.      Tes harus memiliki reliabilitas yang dapat diandalkan.
6.      Tes harus dapat dijadikan sebagai alat ukur keberhasilan belajar siswa dan dapat dijadikan sebagai alat mencari informasi yang berguna untuk memperbaiki cara belajar siswa dan cara mengajar guru itu sendiri.[6]
Selanjutnya untuk melakukan tes diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Menentukan atau merumuskan tujuan tes.
2.      Mengidentifikasi hasil belajar (learning outcomes) yang akan diukur dengan tes tersebut.
3.      Menentukan atau menandai hasil belajar yang spesifik, yang merupakan tingkah laku yang dapat diamati.
4.      Merinci pelajaran atau bahan ajar yang akan diukur dengan tes tersebut.
5.      Menyiapkan table spesifikasi.
6.      Menggunakan table spesifikasi tersebit sebagai dasar penyusunan tes.
Dalam penyusunan sebuah tes, seorang guru perlu memikirkan tipe dan fungsi tes yang akan disusunnya sehingga ia dapat menentukan bagaimana karakteristik soal yang akan dibuatnya.[7]
Penyusunan tes yang dilakukan perlu memperhatikan beberapa prinsip diatas, penyusunan tes tidak boleh dilakukan asal-asalan. Selain itu penyusunan tes harus dilakukan sesuai dengan tahapan atau langkah-langkah yang urut, agar sebuah tes dapat mencapai tujuannya secara maksimal.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syarat dalam perencanaan tes evaluasi pembelajaran adalah validitas, reliabilitas, objektifitas, praktisibilitas, dan ekonomis. Selain itu juga memiliki tujuan yang jelas, bersifat sederhana, memuat analisis-analisis terhadap pekerjaan yang dikerjakan, bersifat fleksibel, memiliki keseimbangan, memiliki kesan bahwa segala sesuatu itu telah tersedia sehingga dapat digunakan secara efektif dan berdaya guna serta memuat aspek yang ingin dicapai. Teknik yang akan digunakan, alat pengukur kecapaian siswa, tolak ukur yang dijadikan patokan dan juga frekuensi pengadaan tes.

Penyusunan sebuah tes perlu diperhatikan, tes hasil belajar harus dapat mengukur secara jelas hasil belajar, butir-butir soal tes harus merupakan sample yang representatif dari populasi bahan pelajaran yang telah diajarkan, bentuk soal tes harus duibuat bervariasi, tes hasil belajar harus di desain dengan kegunaannya, tes harus memiliki reliabilitas yang dapat diandalkan, tes harus dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan siswa dan dapat dijadikan sebagai alat memperbaiki cara belajar siswa maupun  cara mengajar guru.
B. Saran

Sebagai mahasiswa pendidikan, seharusnya dapat memperbanyak informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sistem pendidikan itu sendiri, agar saat kita terjun didunia pendidikan secara langsung kita lebih tanggap.





DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
Purwanto, Ngalim. 2009. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung : Remaja Rosdakarya
Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya
Sudiyono, Anas. 1998. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada



[1] Suharsini Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009), hlm. 53.
[2] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 35.
[3] Anas Sudiyono, Pengantar Evaluasi Pendidikan. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 59.
[4] Nana Sudjana, Op.Cit., hlm. 61.
[5] Ibid. hlm. 62.
[6] Anas Sudiyono, Op.Cit., hlm. 97.
[7] Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 31

Dunia Pendidikan Butuh Generasi Qowiyyun Amin

Generasi “Qowiyyun Amin” sangatlah dibutuhkan di era globalisasi ini. Generasi yang cerdas, trampil dan amanat, adalah dapat mengendalikan akal dan tindakannya secara penuh dengan bersumber pada hati nurani. (Drs. H.  Akhirin Ali, M.Ag)
Fenomena sarjana pengangguran (belum bekerja) ataupun bekerja tidak sesuai dengan jurusan yang ditekuninya, sudah bukan rahasia pribadi lagi melainkan sudah menjadi masalah nasional. Mengingat sarjana pendidikan pun juga tak luput dalam bagian dari fenomena tersebut, maka perlu adanya sebuah solusi tepat untuk mengatasi hal itu. Adanya fenomena tersebut, ijazah masih saja memberikan daya pikat tersendiri sebagai alat resmi dari pemerintah untuk mencari kerja. Sehingga lembaga pendidikan formalpun masih sangat diminati masyarakat meski tarifnya tak murah lagi. Asumsi-asumsi negatif masyarakat, mengenai fenomena tersebut dapat dijadikan tolak ukur bagi suatu lembaga perguruan tinggi untuk mengevaluasi kinerjanya dan selalu berinovasi.
Mematahkan asumsi-asumsi negatif masyarakat mengenai fenomena tersebut, segenap keluarga FTIK (Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan) UNISNU Jepara berusaha menghadirkan inovasi-inovasi baru dalam meningkatkan kinerja dan mengembangkan intelektual mahasiswanya. Inovasi tersebut diterapkan mulai dari tataran dekanat, staf tata usaha, dosen-dosen hingga tingkat organisasi intra kampus di dalam naungan FTIK. Adanya pembelajaran melalui aplikasi baru seperti e-Learning, Classroom, pembaruan sistem informasi melaui siakad dan website serta pemanfaatan media lainnya dapat dijadikan sebagai media edukasi, informasi dan rekreasi.
Drs. H. Akhirin Ali, M.Ag, dekan FTIK, UNISNU Jepara, berpendapat bahwa mahasiswa dewasa ini harus dapat menjadi generasi yang “Qowiyyun Amin” yaitu generasi yang cerdas, trampil dan amanat. Menurut Beliau, dengan pemanfaatan media modern kita harus memiliki kendali penuh agar tercipta kesinambungan yang harmonis, “ati kudune iso ngendalikno akal lan asto” maksudnya hati harus menjadi sumber utama kita dalam mengendalikan logika dan tindakan kita. Selain itu, untuk menjadi generasi “Qowiyyun Amin” mahasiswa pun perlu mengikuti kegiatan ekstra kurikuler selain kegiatan perkuliahan pada umumnya. dengan mengikuti organisasi kemahasiswaan di kampus, agar dapat mengembangkan minat bakatnya.
Organisasi Kemahasiswaan di FTIK
Seperti halnya fakultas lainnya, fakultas tarbiyah dan ilmu keguruan UNISNU Jepara memiliki beberapa organisasi kemahasiswaan. Organisasi-organisasi ini bergerak dibidang pengembangan minat bakat mahasiswa dan peningkatan intelektual mahasiswa. Kerjasama antara fakultas dengan organisasi kemahasiswaan pun dilakukan untuk mengembangkan intelektual dan minat bakat mahasiswa. Selain itu, beberapa kegiatan organisasi tersebut dilakukan dengan tujuan untuk sosialisasi fakultas kepada masyarakat umum.
Organisasi yang ada di FTIK UNISNU Jepara, terdiri dari BEM FTIK sebagai UKM yang menaungi beberapa organisasi didalamnya. Terdapat empat organisasi pengembangan minat bakat dibawah naungan  BEM FTIK yaitu HMJ PAI dan HMJ PBI, serta unit kegiatan kampus (UKK) LPM IDE@, Bant@, dan IRSYAD. Adanya organisasi tersebut sangat membantu mahasiswa FTIK khususnya untuk mengembangkan minat bakatnya, menambah intelektual maupun pengalaman dalam berorganisasi. Selain itu juga bertujuan untuk mempromosikan FTIK di kalangan siswa dan masrayakat.
Sebagai organisasi dibawah naungan BEM FTIK, HMJ PAI maupun HMJ PBI merupakan wadah mahasiswa untuk belajar bagaimana cara menjadi seorang organisatoris yang mampu berkarya, bergerak dalam kegiatan-kegiatan luar kelas, tetapi tetap di dalam koridor pendidikan agama Islam dan PBI. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mencapai pengetahuan yang luas dan pengalaman belajar mahasiswa PAI maupun PBI. Tak hanya itu, HMJ di FTIK memiliki jaringan koordinasi dengan kampus-kampus lain di Indonesia.
Belajar diluar kelas juga dapat diperoleh segenap mahasiswa FTIK, melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh UKK dibawah naungan BEM FTIK, sesuai dengan minat bakat yang dimilikinya. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai UKK yang ada di naungan BEM FTIK : LPM IDE@ adalah organisasi yang bergerak dibidang tulis menulis atau jurnalistik, Bant@ mengembangkan bakat bermusik mahasiswa, sedangkan IRSYAD adalah UKK yang bergerak di bidang keagamaan.
Beberapa kegiatan rutin serta unggulan organisasi kemahasiswaan yang telah dilakukan BEM FTIK bersama UKK dibawah naunganya antara lain adalah Pelatihan administrasi, Education Festival, seminar pendidikan nasional, gebyar ramadhan, serta manajemen pengelolaan organisasi. Selain itu, organisasi dibawah naungan BEM FTIK pun mememiliki program unggulan sendiri yang dapat dijadikan ciri khas organisasi tersebut.
Education Festival
Kegiatan Education Festival merupakan program unggulan yang dilakukan oleh organ kemahasiswaan FTIK, sebagai ajang kreatifitas siswa dan mahasiswa di Jepara. Selain itu, agenda ini juga merupakan alat sosialisasi fakultas pada siswa-siswi SMA sederajat, karena di dalam agenda ini terdapat beberapa lomba yang ditujukan untuk siswa-siswi SMA sederajat di Jepara dan sekitarnya. Tak hanya itu, lomba-lomba yang ada juga para santri-santri pondok pesantren di daerah karisidenan Pati.
Lomba-lomba tersebut antara seperti pidato tiga bahasa (Indonesia, Inggris dan Arab), karikatur, membuat artikel pendidikan, rebana, edufest idol, dan parade band. Terselenggaranya agenda tersebut, diharapkan dapat menyalurkan juara-juara lomba untuk mengikuti festival maupun ajang pencarian minat bakat ke lingkup yang lebih luas lagi. 
Seminar Pendidikan Nasional
Selain itu kegiatan rutin seminar pendidikan nasional juga memiliki daya tarik tersendiri, apalagi jika seminar tersebut menghadirkan tokoh nasional yang mampu menginspirasi dunia pendidikan, sehingga seminar tak lagi menjadi forum ceremonial yang membosankan namun menjadi forum yang sangat inspiratif. Seperti halnya yang dilakukan oleh BEM FTIK yang bekerjasama dengan sekolah SEMAI Juni lalu, berhasil mendatangkan bapak Munif Chatib (Konselor Pendidikan), salah satu penggagas kurikulum 2013 dan penulis buku best seller tentang dunia pendidikan.
Dengan adanya seminar pendidikan nasional tersebut, dapat menambah pandangan positif masyarakat terhadap FTIK UNISNU Jepara. Selain itu, adanya agenda tersebut diharapkan dapat menjadi representatif dalam perubahan konsep pendidikan yang ada di Jepara khususnya. Agenda ini juga dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa UNISNU Jepara, khususnya mahasiswa FTIK agar menjadi calon-calon pendidik yang akan memajukan pendidikan di Jepara bahkan di seluruh Indonesia.

Sarjana Pendidikan Harus Tanggap!

"Sarjana, adalah suatu gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikan sarjana (S-1). Secara normatif dibutuhkan waktu 4-6 tahun untuk memperoleh gelar tersebut. Menjadi sarjana adalah titik awal seseorang untuk memulai kariernya, dan pada akhirnya seorang sarjana dituntut untuk bisa menerapkan ilmu yang telah didapatnya.”
Jumlah pengangguran di Indonesia kian hari kian meningkat, hal ini terbukti dengan bertambahnya tingkat kriminalitas yang ada. Ironisnya kriminalitas tidak hanya dilakukan oleh mereka yang notabennya adalah orang yang tidak berpendidikan, namun tak sedikit juga dilakukan oleh lulusan perguruan tinggi. Fenomena cap sarjana pengangguran memang bukan hal yang premature lagi di telinga kita. Apalagi mahasiswa lulus tanpa pengalaman organisasi sama sekali, saat ia terjun di dunia kerja seakan hal tersebut menjadi momok menakutkan baginya.
Menjamurnya perguruan tinggi ternyata juga bukan satu-satunya jalan untuk meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia) di Indonesia. Apalagi fenomena sarjana pengangguran dan sarjana bekerja tidak sesuai dengan bidangnya yang semakin menjamur pula, membuat kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan formal ini menjadi berkurang. Asumsi-asumsi negatif masyarakat ini terbangun oleh pengalaman buruk masyarakat ketika ia terjun di dunia kerja, padahal ia sudah menempuh pendidikan jenjang strata satu dengan biaya yang tidak murah. Tentunya ini juga menjadi cermin bagi masyarakat awam yang belum mengenal pendidikan tinggi.
Membahas fenomena sarjana pengangguran (belum bekerja) ataupun bekerja tidak sesuai dengan prodi yang ditempuhnya, sudah bukan rahasia pribadi lagi. Hal tersebut merupakan masalah nasional yang perlu ditelaah secara mendalam, mengingat sarjana pendidikan pun juga tak luput dalam bagian dari fenomena tersebut. Adanya fenomena tersebut, ijazah masih saja memberikan daya pikat tersendiri sebagai alat resmi dari pemerintah untuk mencari kerja. Sehingga lembaga pendidikan formalpun masih sangat diminati masyarakat meski tarifnya tak murah lagi.
Tak sedikit masyarakat beranggapan bahwa lulusan perguruan tinggi harus bekerja sesuai bidang yang ditempuh sebelumnya. Namun banyak pula sarjana yang bekerja tidak sesuai dengan jurusan yang ditempuhnya, dengan alasan memanfaatkan peluang yang ada. Jika dikaitakan dengan fenomena tersebut, sebenarnya tak perlu dirisaukan lagi karena sebenarnya masalah kerja bukanlah satu-satunya tujuan sekolah ataupun kuliah. Sebagai mahasiswa memang sudah sepatutnya kita tanggap akan kebutuhan kita sekarang maupun tantangan yang akan kita hadapi dimasa yang akan datang.
Bapak Maswan selaku wakil dekan tiga, bagian kemahasiswaan fakultas tarbiyah dan ilmu keguruan UNISNU Jepara, berpendapat bahwa setiap prodi yang dibuka harusnya secara linieritas ilmu yang dipelajari mahasiswa dapat dipergunakan untuk bekerja sesuai dengan bidang keahliannya. Dalam hal ini, yang bisa mengatur sistem tersebut hanyalah pemerintah dan segenap perangkat bangsa yang mempunyai kebijakan menanganinya. Namun, tak ada salahnya jika seorang sarjana bekerja tidak sesuai dengan jurusan yang ditempuh sebelumnya, dengan alasan sarjana harus bisa menempatkan dirinya sebagai kaum intelektual yang memiliki jiwa entrepreneur sejati.
Untuk meminimalisir adanya sarjana pengangguran, mahasiswa sejak awal harus paham betul tujuannya kuliah untuk apa dan kenapa memilih jurusan tersebut. Misalnya memilih jurusan pendidikan, lalu orientasi akhirnya hanyalah untuk bekerja, sedangkan persaingan dalam dunia kerja sangat ketat, bahkan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang jurusan tersebut sudah banyak peminatnya, maka perlu disiapkan mental entrepreneur atau jiwa wiraswasta yang hebat.
Bagi mahasiswa FTIK, jika setelah lulus tidak bekerja di lembaga pendidikan formal seperti madrasah maupun sekolah formal lainnya, jangan takut mencoba pekerjaan dibidang lainnya. Dalam kata lain, sebagai seorang sarjana apalagi sarjana pendidikan haruslah pandai membaca peluang kerja yang ada, jika peluang kerja di lembaga pendidikan formal sudah sangat minim maka jiwa entrepreneur harus diterapkan. Seorang sarjanya pendidikan tidak selamanya harus menjadi guru di sebuah institusi formal, namun ia juga harus memiliki inovasi untuk menjadi seorang sarjana yang tanggap akan kebutuhan masyarakat dan peluang kerja yang ada disekitarnya.
Jika seorang sarjana pendidikan beranggapan sekolah atau lembaga pendidikan formal adalah satu-satunya tempat mengaplikasikan ilmu pendidikan, nampaknya bukanlah hal yang tepat. Hal inilah yang menjadi asumsi masyarakat selama ini, bahwa sarjana pendidikan lulus dan akan bekerja di suatu lembaga pendidikan formal, sehingga pada akhirnya jika tidak bekerja di lembaga pendidikan formal peran serta tanggung jawab sebagai pendidik terasa pudar. Hal tersebut mengakibatkan komunikasi 3 komponen penting pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat), tampak kurang harmonis.
Sarjana pendidikan yang belum atau bahkan tidak mendapatkan tempat di lembaga pendidikan formal, dapat membuka lapangan pekerjaan sendiri. Ia harus tanggap akan kebutuhannya serta tanggap akan kebutuhan masyarakat, sehingga dapat memanfaatkan peluang secara maksimal. Misalnya dengan mendirikan tempat pendidikan pra-sekolah (PAUD), yang dapat dikelola oleh sesama lulusan sarjana pendidikan yang belum mendapat tempat di lembaga pendidikan formal. Selain itu, lulusan sarjana pendidikan, dapat membuka lembaga pendidikan non-formal (kursus, les privat dan sejenisnya) yang tak jauh-jauh dari bidang jurusan yang diambilnya saat kuliah, bahkan jika berani ambil peluang kerja yang lebih menantang, misalnya bekerja di suatu lembaga pemasaran atau lainnya.
Selain itu, untuk menjadi lulusan sarjana yang tanggap akan kebutuhan serta memiliki jiwa entrepreneur yang tangguh, maka mahasiswa harus dan wajib mengikuti kegiatan ekstrakurikuler selain kegiatan perkuliahan, yang hanya didapat dengan mengikuti organisasi kemahasiswaan. Dengan mengikuti kegiatan organisasi kemahasiswaan, akan membentuk kepribadian yang tangguh, ulet dan juga cerdas dalam memecahkan masalah. Selain dapat mengembangkan minat bakatnya, organisasi kemahasiswaan tetap menjadi wadah yang efektif untuk membangun kepercayaan diri di dalam kampus, diluar kampus maupun setelah terjun langsung dimasyarakat. Mahasiswa yang ikut berproses dalam organsasi kemahasiswaan berpeluang menjadi pemimpin yang professional.

Bagaimanapun juga, mahasiswa yang mau berproses dan mau berlatih berorganisasi akan lebih mudah dan lebih percaya diri dalam menghadapi setiap tantangan yang ada. Jika kita mengamati pemimpin-pemimpin kita yang sukses, bukan sertamerta sukses tanpa proses namun ia sukses karena pernah berlatih dan mau berproses untuk menjadi pemimpin diorganisasi yang pernah ditangani. Oleh sebab itu, untuk menjadi sarjana yang tanggap akan kebutuhan, maka perlu adanya niat dan minat untuk selalu mengeksplore kemampuannya. Hal tersebut dapat dilakukan melalui perkuliahan sehari-hari dan dengan cara mengikuti kegiatan ekstra kurikuler kampus. 

Selasa, 16 Juni 2015

Meneladani Perjuangan Sang Pemberontak dari Jepara



Doc. Internet

Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata “Emansipasi” belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup di dalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri. (surat R.A. Kartini kepada Nona Zeechandelaar, 25 Mei 1899)
Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879. Meskipun seorang wanita, ia tak pantang menyerah untuk belajar dan selalu menciptakan inovasi pembelajaran bagi kaumnya. Sehingga ia dijuluki sebagai pelopor lahirnya emansipasi wanita di Indonesia. Perjuangannya sebagai pelopor emansipasi dimulai sejak ia merasakan banyaknya diskriminasi antara kaum wanita dengan kaum lelaki masa itu, dimana beberapa perempuan dilarang mengenyam pendidikan.
Diskriminasi tersebut juga dialami oleh R.A. Kartini sendiri, yaitu ketika ia tidak diperbolehkan untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Saat itulah Kartini merasa bahwa bagi seorang wanita hal itu merupakan hal yang tidak adil dan perlu ditentang. Kartini sering berkomunikasi dan saling tukar informasi dengan temannya di luar negeri melalui surat, dan akhirnya surat-surat tersebut dikumpulkan oleh Rosa Abendanon dan dijadikan sebuah buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
R.A. Kartini merupakan figur pembangkit perjuangan kaum wanita sepanjang masa. Perjalanan yang sangat panjang dan penuh idealisme adalah karakter khas perjuangannya untuk melawan ketidakadilan gender, menghapuskan diskriminasi terhadap kaum wanita yang dianggap tidak penting. Oleh karena hal itulah R.A. Kartini menjadi salah satu spirit perjuangan bagi kaum wanita sepanjang masa.
Sejarah Singkat Perjuangan R.A Kartini
Ilustrasi tentang perjuangan Raden Ajeng Kartini memang bukan hal yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi masyarakat Jepara. Membahas perjuangan R.A. Kartini merupakan perjuangan yang patut untuk ditiru oleh wanita Indonesia, khususnya para kaum mudanya. Perjuangan R.A. Kartini berawal saat ia umur 12 Tahun, setelah sebelumnya ia bersekolah di Europese Lagere school (ELS) tempat dimana ia mengenyam pendidikan dan belajar bahasa Belanda disekolah tersebut. Ayahnya melarang untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, dengan alasan umur 12 tahun waktunya bagi seorang wanita untuk dipingit.
Saat itulah Kartini kecil tidak diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan lagi, namun ia memiliki banyak cara untuk bisa belajar tentang hal-hal baru diluar sana. Kartini mulai menulis surat-surat kepada teman-teman korespondensinya yang sebagian besarnya adalah wanita Belanda dan Eropa. Dari situlah kartini mulai tertarik untuk mempelajari tentang kemajuan berfikir wanita Eropa dan mulai gemar membaca buku-buku, koran hingga majalah Eropa. Kebiasaan membaca yang ia lakukan telah menghasilkan banyak hal, kartini bisa memahami perjuangan wanita dalam sosial.
Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata “Emansipasi” belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup di dalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri. (surat R.A. Kartini kepada Nona Estele Zechandelaar, 25 Mei 1899)
Kecerdasan pikiran penduduk bumi putera tiada akan maju dengan pesatnya, apabila kaum perempuan itu ketinggalan dalam usaha tersebut. Perempuan jadi pembawa peradaban. (Surat R.A. Kartini kepada Estele Zechandelaar di Negeri Belanda, 9 Januari 1901)
R.A. Kartini melawan diskriminasi Belanda terhadap pribumi dan kesewenang-wenangan Belanda melalui surat kepada sahabatnya di Belanda, dan dari tulisan-tulisan R.A. Kartini pemerintah Belanda mampu tergugah hatinya dan mendirikan sekolah di Jawa. Hingga wanita-wanita di pribumi bisa mengenyam pendidikan yang layak masa itu. R.A. Kartini selalu berjuang melalui tulisan-tulisannya agar para kaum wanita Indonesia berpendidikan dan mampu berprestasi menghasilkan karya, meskipun keluarganya menentang.
Selepas menikah di Jepara 8 November 1903, ia ikut suaminya ke Rembang. R.A. Kartini tutup usia saat ia berumur 25 tahun, tanggal 17 September 1904 selang beberapa hari setelah melahirkan putra pertamanya. Walaupun singkat, namun ia mampu memberikan sebentuk cita-cita yang luhur bagi kader penerus bangsanya, dengan meninggalkan banyak karya pembangkit perjuangan kaum wanita.
Meneladani Makna Perjuangan R.A. Kartini di Era Globalisasi
Setiap satu tahun sekali masyarakat Indonesia memperingati hari Kartini, tepatnya pada tanggal 21 April. Berbagai kegiatan dilakukan untuk memeriahkan acara tersebut, seperti halnya lomba-lomba memasak bahkan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan intelektual seperti seminar dan diskusi dengan tema eksistensi perempuan di Indonesia misalnya.
Peringatan hari kartini sebagai refleksi bagi kaum wanita dalam berkarya dan berbakti kepada negara Indonesia. Jika R.A. Kartini adalah jiwa dan pikiran yang mewakili kaum wanita Indonesia, maka sejatinya wanita Indonesia membutuhkan lebih dari itu untuk dijadikan panutan dan teladan. Pada hakikatnya semua wanita adalah pahlawan, paling tidak bagi dirinya sendiri dan keluarganya.
Globalisasi tidak bisa dihindari karena sifatnya yang dinamis, ada sesuai perkembangan teknologi dan arus informasi. Perempuan Indonesia telah menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan nyata. Bercermin dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di seluruh belahan dunia,banyak wanita yang justru memanfaatkan kebebasannya untuk hal-hal negatif. Misalnya pergaulan bebas, yang dilakukan oleh orang-orang yang kurang kasih sayang dari orang tuanya dan tidak berpendidikan.
Tak lepas dari misi emansipasi wanita, diperlukan kader-kader bermutu yang bisa diandalkan di masa mendatang. Memaknai perjuangan R.A. Kartini menjadi sangat penting bagi kaum wanita karena beberapa hal. Pertama, memahami makna perlawanan kartini. Kartini adalah simbol perlawanan terhadap kultur dan struktur sosial yang memarginalkan kaum wanita. Perlawanan semacam ini masih sangat diperlukan, mengingat perempuan saat ini masih belum sepenuhnya terbebas dari diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan.
Makna perlawanan seperti ini kurang tampak, meningat pada setiap peringatan hari kartini justru cenderung sarat dengan simbol-simbol berlawanan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan Kartini. Hal semacam itu terlihat dengan seringnya diadakan lomba berhias, memakai kebaya yang merupakan simbol feminine wanita. Peringatan hari kartini, dapat dijadikan momentum untuk memperbaiki presepsi masyarakat tentang perjuangan kartini dalam menaikkan harkat dan martabat kaum wanita, yang dapat digunakan sebagai landasan pergerakan kaum wanita menuju masyarakat yang berkeadilan gender.
Kedua, optimis dalam menghadapi tantangan hidup sebaga wanita sejati. Saat ini, kita berada pada jalur simpang sebuah perjuangan yang dapat membawa diri kita menuju suatu progress bahkan hingga menuju regress. Hingga sekarang, arah perjuangan menuju kesetaraan gender telah diadopsi oleh negara dan secara proaktif diperjuangkan oleh aktivis perempuan. Arus perjuangan ini masih belum bisa dikatakan sempurna, dikarenakan komitmen negara terhadap kesetaraan gender masih belum paripurna. Negara dan kekuatan aktivis pro-perempuan di masyarakat juga belum mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh wanita indonesia. Maraknya kasus pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan serta pelecehan terhadap wanita dan lain sebagainya.
Keberanian dan eksistensi diri harus dimiliki oleh setiap wanita Indonesia. Tanpa keberanian, mustahil suatu tindakan akan dapat terwujud. Memulai seseuatu hal yang baru bukan masalah sulit, tak menutup kemungkinan juga akan mengalami hambatan dan tantangan untuk mewujudkan misi. Optimis dan berani dalam mempertahankan eksistensi sangat dibutuhkan, hingga terwujudnya misi emansipasi seperi yang diperjuangkan Ibu kita R.A. Kartini. Globalisasi menjadikan semua lebih mudah. Tinggal kita, siapkah kita menghadapinya?