Senin, 19 Oktober 2015

Sarjana Pendidikan Harus Tanggap!

"Sarjana, adalah suatu gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikan sarjana (S-1). Secara normatif dibutuhkan waktu 4-6 tahun untuk memperoleh gelar tersebut. Menjadi sarjana adalah titik awal seseorang untuk memulai kariernya, dan pada akhirnya seorang sarjana dituntut untuk bisa menerapkan ilmu yang telah didapatnya.”
Jumlah pengangguran di Indonesia kian hari kian meningkat, hal ini terbukti dengan bertambahnya tingkat kriminalitas yang ada. Ironisnya kriminalitas tidak hanya dilakukan oleh mereka yang notabennya adalah orang yang tidak berpendidikan, namun tak sedikit juga dilakukan oleh lulusan perguruan tinggi. Fenomena cap sarjana pengangguran memang bukan hal yang premature lagi di telinga kita. Apalagi mahasiswa lulus tanpa pengalaman organisasi sama sekali, saat ia terjun di dunia kerja seakan hal tersebut menjadi momok menakutkan baginya.
Menjamurnya perguruan tinggi ternyata juga bukan satu-satunya jalan untuk meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia) di Indonesia. Apalagi fenomena sarjana pengangguran dan sarjana bekerja tidak sesuai dengan bidangnya yang semakin menjamur pula, membuat kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan formal ini menjadi berkurang. Asumsi-asumsi negatif masyarakat ini terbangun oleh pengalaman buruk masyarakat ketika ia terjun di dunia kerja, padahal ia sudah menempuh pendidikan jenjang strata satu dengan biaya yang tidak murah. Tentunya ini juga menjadi cermin bagi masyarakat awam yang belum mengenal pendidikan tinggi.
Membahas fenomena sarjana pengangguran (belum bekerja) ataupun bekerja tidak sesuai dengan prodi yang ditempuhnya, sudah bukan rahasia pribadi lagi. Hal tersebut merupakan masalah nasional yang perlu ditelaah secara mendalam, mengingat sarjana pendidikan pun juga tak luput dalam bagian dari fenomena tersebut. Adanya fenomena tersebut, ijazah masih saja memberikan daya pikat tersendiri sebagai alat resmi dari pemerintah untuk mencari kerja. Sehingga lembaga pendidikan formalpun masih sangat diminati masyarakat meski tarifnya tak murah lagi.
Tak sedikit masyarakat beranggapan bahwa lulusan perguruan tinggi harus bekerja sesuai bidang yang ditempuh sebelumnya. Namun banyak pula sarjana yang bekerja tidak sesuai dengan jurusan yang ditempuhnya, dengan alasan memanfaatkan peluang yang ada. Jika dikaitakan dengan fenomena tersebut, sebenarnya tak perlu dirisaukan lagi karena sebenarnya masalah kerja bukanlah satu-satunya tujuan sekolah ataupun kuliah. Sebagai mahasiswa memang sudah sepatutnya kita tanggap akan kebutuhan kita sekarang maupun tantangan yang akan kita hadapi dimasa yang akan datang.
Bapak Maswan selaku wakil dekan tiga, bagian kemahasiswaan fakultas tarbiyah dan ilmu keguruan UNISNU Jepara, berpendapat bahwa setiap prodi yang dibuka harusnya secara linieritas ilmu yang dipelajari mahasiswa dapat dipergunakan untuk bekerja sesuai dengan bidang keahliannya. Dalam hal ini, yang bisa mengatur sistem tersebut hanyalah pemerintah dan segenap perangkat bangsa yang mempunyai kebijakan menanganinya. Namun, tak ada salahnya jika seorang sarjana bekerja tidak sesuai dengan jurusan yang ditempuh sebelumnya, dengan alasan sarjana harus bisa menempatkan dirinya sebagai kaum intelektual yang memiliki jiwa entrepreneur sejati.
Untuk meminimalisir adanya sarjana pengangguran, mahasiswa sejak awal harus paham betul tujuannya kuliah untuk apa dan kenapa memilih jurusan tersebut. Misalnya memilih jurusan pendidikan, lalu orientasi akhirnya hanyalah untuk bekerja, sedangkan persaingan dalam dunia kerja sangat ketat, bahkan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang jurusan tersebut sudah banyak peminatnya, maka perlu disiapkan mental entrepreneur atau jiwa wiraswasta yang hebat.
Bagi mahasiswa FTIK, jika setelah lulus tidak bekerja di lembaga pendidikan formal seperti madrasah maupun sekolah formal lainnya, jangan takut mencoba pekerjaan dibidang lainnya. Dalam kata lain, sebagai seorang sarjana apalagi sarjana pendidikan haruslah pandai membaca peluang kerja yang ada, jika peluang kerja di lembaga pendidikan formal sudah sangat minim maka jiwa entrepreneur harus diterapkan. Seorang sarjanya pendidikan tidak selamanya harus menjadi guru di sebuah institusi formal, namun ia juga harus memiliki inovasi untuk menjadi seorang sarjana yang tanggap akan kebutuhan masyarakat dan peluang kerja yang ada disekitarnya.
Jika seorang sarjana pendidikan beranggapan sekolah atau lembaga pendidikan formal adalah satu-satunya tempat mengaplikasikan ilmu pendidikan, nampaknya bukanlah hal yang tepat. Hal inilah yang menjadi asumsi masyarakat selama ini, bahwa sarjana pendidikan lulus dan akan bekerja di suatu lembaga pendidikan formal, sehingga pada akhirnya jika tidak bekerja di lembaga pendidikan formal peran serta tanggung jawab sebagai pendidik terasa pudar. Hal tersebut mengakibatkan komunikasi 3 komponen penting pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat), tampak kurang harmonis.
Sarjana pendidikan yang belum atau bahkan tidak mendapatkan tempat di lembaga pendidikan formal, dapat membuka lapangan pekerjaan sendiri. Ia harus tanggap akan kebutuhannya serta tanggap akan kebutuhan masyarakat, sehingga dapat memanfaatkan peluang secara maksimal. Misalnya dengan mendirikan tempat pendidikan pra-sekolah (PAUD), yang dapat dikelola oleh sesama lulusan sarjana pendidikan yang belum mendapat tempat di lembaga pendidikan formal. Selain itu, lulusan sarjana pendidikan, dapat membuka lembaga pendidikan non-formal (kursus, les privat dan sejenisnya) yang tak jauh-jauh dari bidang jurusan yang diambilnya saat kuliah, bahkan jika berani ambil peluang kerja yang lebih menantang, misalnya bekerja di suatu lembaga pemasaran atau lainnya.
Selain itu, untuk menjadi lulusan sarjana yang tanggap akan kebutuhan serta memiliki jiwa entrepreneur yang tangguh, maka mahasiswa harus dan wajib mengikuti kegiatan ekstrakurikuler selain kegiatan perkuliahan, yang hanya didapat dengan mengikuti organisasi kemahasiswaan. Dengan mengikuti kegiatan organisasi kemahasiswaan, akan membentuk kepribadian yang tangguh, ulet dan juga cerdas dalam memecahkan masalah. Selain dapat mengembangkan minat bakatnya, organisasi kemahasiswaan tetap menjadi wadah yang efektif untuk membangun kepercayaan diri di dalam kampus, diluar kampus maupun setelah terjun langsung dimasyarakat. Mahasiswa yang ikut berproses dalam organsasi kemahasiswaan berpeluang menjadi pemimpin yang professional.

Bagaimanapun juga, mahasiswa yang mau berproses dan mau berlatih berorganisasi akan lebih mudah dan lebih percaya diri dalam menghadapi setiap tantangan yang ada. Jika kita mengamati pemimpin-pemimpin kita yang sukses, bukan sertamerta sukses tanpa proses namun ia sukses karena pernah berlatih dan mau berproses untuk menjadi pemimpin diorganisasi yang pernah ditangani. Oleh sebab itu, untuk menjadi sarjana yang tanggap akan kebutuhan, maka perlu adanya niat dan minat untuk selalu mengeksplore kemampuannya. Hal tersebut dapat dilakukan melalui perkuliahan sehari-hari dan dengan cara mengikuti kegiatan ekstra kurikuler kampus. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar