"Sarjana,
adalah suatu gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikan
sarjana (S-1). Secara normatif dibutuhkan waktu 4-6 tahun untuk memperoleh
gelar tersebut. Menjadi sarjana adalah titik awal seseorang untuk memulai
kariernya, dan pada akhirnya seorang sarjana dituntut untuk bisa menerapkan
ilmu yang telah didapatnya.”
Jumlah
pengangguran di Indonesia kian hari kian meningkat, hal ini terbukti dengan
bertambahnya tingkat kriminalitas yang ada. Ironisnya kriminalitas tidak hanya
dilakukan oleh mereka yang notabennya adalah orang yang tidak berpendidikan,
namun tak sedikit juga dilakukan oleh lulusan perguruan tinggi. Fenomena cap
sarjana pengangguran memang bukan hal yang premature
lagi di telinga kita. Apalagi mahasiswa lulus tanpa pengalaman organisasi
sama sekali, saat ia terjun di dunia kerja seakan hal tersebut menjadi momok
menakutkan baginya.
Menjamurnya
perguruan tinggi ternyata juga bukan satu-satunya jalan untuk meningkatkan SDM
(Sumber Daya Manusia) di Indonesia. Apalagi fenomena sarjana pengangguran dan
sarjana bekerja tidak sesuai dengan bidangnya yang semakin menjamur pula,
membuat kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan formal ini menjadi
berkurang. Asumsi-asumsi negatif masyarakat ini terbangun oleh pengalaman buruk
masyarakat ketika ia terjun di dunia kerja, padahal ia sudah menempuh
pendidikan jenjang strata satu dengan biaya yang tidak murah. Tentunya ini juga
menjadi cermin bagi masyarakat awam yang belum mengenal pendidikan tinggi.
Membahas
fenomena sarjana pengangguran (belum bekerja) ataupun bekerja tidak sesuai
dengan prodi yang ditempuhnya, sudah bukan rahasia pribadi lagi. Hal tersebut
merupakan masalah nasional yang perlu ditelaah secara mendalam, mengingat sarjana
pendidikan pun juga tak luput dalam bagian dari fenomena tersebut. Adanya
fenomena tersebut, ijazah masih saja memberikan daya pikat tersendiri sebagai
alat resmi dari pemerintah untuk mencari kerja. Sehingga lembaga pendidikan
formalpun masih sangat diminati masyarakat meski tarifnya tak murah lagi.
Tak sedikit
masyarakat beranggapan bahwa lulusan perguruan tinggi harus bekerja sesuai
bidang yang ditempuh sebelumnya. Namun banyak pula sarjana yang bekerja tidak
sesuai dengan jurusan yang ditempuhnya, dengan alasan memanfaatkan peluang yang
ada. Jika dikaitakan dengan fenomena tersebut, sebenarnya tak perlu dirisaukan
lagi karena sebenarnya masalah kerja bukanlah satu-satunya tujuan sekolah
ataupun kuliah. Sebagai mahasiswa memang sudah sepatutnya kita tanggap akan
kebutuhan kita sekarang maupun tantangan yang akan kita hadapi dimasa yang akan
datang.
Bapak Maswan
selaku wakil dekan tiga, bagian kemahasiswaan fakultas tarbiyah dan ilmu
keguruan UNISNU Jepara, berpendapat bahwa setiap prodi yang dibuka harusnya
secara linieritas ilmu yang dipelajari mahasiswa dapat dipergunakan untuk
bekerja sesuai dengan bidang keahliannya. Dalam hal ini, yang bisa mengatur
sistem tersebut hanyalah pemerintah dan segenap perangkat bangsa yang mempunyai
kebijakan menanganinya. Namun, tak ada salahnya jika seorang sarjana bekerja
tidak sesuai dengan jurusan yang ditempuh sebelumnya, dengan alasan sarjana
harus bisa menempatkan dirinya sebagai kaum intelektual yang memiliki jiwa entrepreneur sejati.
Untuk
meminimalisir adanya sarjana pengangguran, mahasiswa sejak awal harus paham
betul tujuannya kuliah untuk apa dan kenapa memilih jurusan tersebut. Misalnya
memilih jurusan pendidikan, lalu orientasi akhirnya hanyalah untuk bekerja,
sedangkan persaingan dalam dunia kerja sangat ketat, bahkan lapangan pekerjaan
yang sesuai dengan bidang jurusan tersebut sudah banyak peminatnya, maka perlu
disiapkan mental entrepreneur atau
jiwa wiraswasta yang hebat.
Bagi
mahasiswa FTIK, jika setelah lulus tidak bekerja di lembaga pendidikan formal
seperti madrasah maupun sekolah formal lainnya, jangan takut mencoba pekerjaan
dibidang lainnya. Dalam kata lain, sebagai seorang sarjana apalagi sarjana
pendidikan haruslah pandai membaca peluang kerja yang ada, jika peluang kerja
di lembaga pendidikan formal sudah sangat minim maka jiwa entrepreneur harus diterapkan. Seorang sarjanya pendidikan tidak
selamanya harus menjadi guru di sebuah institusi formal, namun ia juga harus
memiliki inovasi untuk menjadi seorang sarjana yang tanggap akan kebutuhan
masyarakat dan peluang kerja yang ada disekitarnya.
Jika seorang
sarjana pendidikan beranggapan sekolah atau lembaga pendidikan formal adalah
satu-satunya tempat mengaplikasikan ilmu pendidikan, nampaknya bukanlah hal
yang tepat. Hal inilah yang menjadi asumsi masyarakat selama ini, bahwa sarjana
pendidikan lulus dan akan bekerja di suatu lembaga pendidikan formal, sehingga
pada akhirnya jika tidak bekerja di lembaga pendidikan formal peran serta
tanggung jawab sebagai pendidik terasa pudar. Hal tersebut mengakibatkan
komunikasi 3 komponen penting pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat),
tampak kurang harmonis.
Sarjana
pendidikan yang belum atau bahkan tidak mendapatkan tempat di lembaga
pendidikan formal, dapat membuka lapangan pekerjaan sendiri. Ia harus tanggap
akan kebutuhannya serta tanggap akan kebutuhan masyarakat, sehingga dapat
memanfaatkan peluang secara maksimal. Misalnya dengan mendirikan tempat
pendidikan pra-sekolah (PAUD), yang dapat dikelola oleh sesama lulusan sarjana
pendidikan yang belum mendapat tempat di lembaga pendidikan formal. Selain itu,
lulusan sarjana pendidikan, dapat membuka lembaga pendidikan non-formal
(kursus, les privat dan sejenisnya) yang tak jauh-jauh dari bidang jurusan yang
diambilnya saat kuliah, bahkan jika berani ambil peluang kerja yang lebih
menantang, misalnya bekerja di suatu lembaga pemasaran atau lainnya.
Selain itu,
untuk menjadi lulusan sarjana yang tanggap akan kebutuhan serta memiliki jiwa entrepreneur yang tangguh, maka
mahasiswa harus dan wajib mengikuti kegiatan ekstrakurikuler selain kegiatan
perkuliahan, yang hanya didapat dengan mengikuti organisasi kemahasiswaan.
Dengan mengikuti kegiatan organisasi kemahasiswaan, akan membentuk kepribadian
yang tangguh, ulet dan juga cerdas dalam memecahkan masalah. Selain dapat
mengembangkan minat bakatnya, organisasi kemahasiswaan tetap menjadi wadah yang
efektif untuk membangun kepercayaan diri di dalam kampus, diluar kampus maupun
setelah terjun langsung dimasyarakat. Mahasiswa yang ikut berproses dalam organsasi
kemahasiswaan berpeluang menjadi pemimpin yang professional.
Bagaimanapun
juga, mahasiswa yang mau berproses dan mau berlatih berorganisasi akan lebih
mudah dan lebih percaya diri dalam menghadapi setiap tantangan yang ada. Jika
kita mengamati pemimpin-pemimpin kita yang sukses, bukan sertamerta sukses
tanpa proses namun ia sukses karena pernah berlatih dan mau berproses untuk
menjadi pemimpin diorganisasi yang pernah ditangani. Oleh sebab itu, untuk
menjadi sarjana yang tanggap akan kebutuhan, maka perlu adanya niat dan minat
untuk selalu mengeksplore kemampuannya.
Hal tersebut dapat dilakukan melalui perkuliahan sehari-hari dan dengan cara
mengikuti kegiatan ekstra kurikuler kampus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar