Selasa, 16 Juni 2015

Meneladani Perjuangan Sang Pemberontak dari Jepara



Doc. Internet

Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata “Emansipasi” belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup di dalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri. (surat R.A. Kartini kepada Nona Zeechandelaar, 25 Mei 1899)
Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879. Meskipun seorang wanita, ia tak pantang menyerah untuk belajar dan selalu menciptakan inovasi pembelajaran bagi kaumnya. Sehingga ia dijuluki sebagai pelopor lahirnya emansipasi wanita di Indonesia. Perjuangannya sebagai pelopor emansipasi dimulai sejak ia merasakan banyaknya diskriminasi antara kaum wanita dengan kaum lelaki masa itu, dimana beberapa perempuan dilarang mengenyam pendidikan.
Diskriminasi tersebut juga dialami oleh R.A. Kartini sendiri, yaitu ketika ia tidak diperbolehkan untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Saat itulah Kartini merasa bahwa bagi seorang wanita hal itu merupakan hal yang tidak adil dan perlu ditentang. Kartini sering berkomunikasi dan saling tukar informasi dengan temannya di luar negeri melalui surat, dan akhirnya surat-surat tersebut dikumpulkan oleh Rosa Abendanon dan dijadikan sebuah buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
R.A. Kartini merupakan figur pembangkit perjuangan kaum wanita sepanjang masa. Perjalanan yang sangat panjang dan penuh idealisme adalah karakter khas perjuangannya untuk melawan ketidakadilan gender, menghapuskan diskriminasi terhadap kaum wanita yang dianggap tidak penting. Oleh karena hal itulah R.A. Kartini menjadi salah satu spirit perjuangan bagi kaum wanita sepanjang masa.
Sejarah Singkat Perjuangan R.A Kartini
Ilustrasi tentang perjuangan Raden Ajeng Kartini memang bukan hal yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi masyarakat Jepara. Membahas perjuangan R.A. Kartini merupakan perjuangan yang patut untuk ditiru oleh wanita Indonesia, khususnya para kaum mudanya. Perjuangan R.A. Kartini berawal saat ia umur 12 Tahun, setelah sebelumnya ia bersekolah di Europese Lagere school (ELS) tempat dimana ia mengenyam pendidikan dan belajar bahasa Belanda disekolah tersebut. Ayahnya melarang untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, dengan alasan umur 12 tahun waktunya bagi seorang wanita untuk dipingit.
Saat itulah Kartini kecil tidak diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan lagi, namun ia memiliki banyak cara untuk bisa belajar tentang hal-hal baru diluar sana. Kartini mulai menulis surat-surat kepada teman-teman korespondensinya yang sebagian besarnya adalah wanita Belanda dan Eropa. Dari situlah kartini mulai tertarik untuk mempelajari tentang kemajuan berfikir wanita Eropa dan mulai gemar membaca buku-buku, koran hingga majalah Eropa. Kebiasaan membaca yang ia lakukan telah menghasilkan banyak hal, kartini bisa memahami perjuangan wanita dalam sosial.
Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata “Emansipasi” belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup di dalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri. (surat R.A. Kartini kepada Nona Estele Zechandelaar, 25 Mei 1899)
Kecerdasan pikiran penduduk bumi putera tiada akan maju dengan pesatnya, apabila kaum perempuan itu ketinggalan dalam usaha tersebut. Perempuan jadi pembawa peradaban. (Surat R.A. Kartini kepada Estele Zechandelaar di Negeri Belanda, 9 Januari 1901)
R.A. Kartini melawan diskriminasi Belanda terhadap pribumi dan kesewenang-wenangan Belanda melalui surat kepada sahabatnya di Belanda, dan dari tulisan-tulisan R.A. Kartini pemerintah Belanda mampu tergugah hatinya dan mendirikan sekolah di Jawa. Hingga wanita-wanita di pribumi bisa mengenyam pendidikan yang layak masa itu. R.A. Kartini selalu berjuang melalui tulisan-tulisannya agar para kaum wanita Indonesia berpendidikan dan mampu berprestasi menghasilkan karya, meskipun keluarganya menentang.
Selepas menikah di Jepara 8 November 1903, ia ikut suaminya ke Rembang. R.A. Kartini tutup usia saat ia berumur 25 tahun, tanggal 17 September 1904 selang beberapa hari setelah melahirkan putra pertamanya. Walaupun singkat, namun ia mampu memberikan sebentuk cita-cita yang luhur bagi kader penerus bangsanya, dengan meninggalkan banyak karya pembangkit perjuangan kaum wanita.
Meneladani Makna Perjuangan R.A. Kartini di Era Globalisasi
Setiap satu tahun sekali masyarakat Indonesia memperingati hari Kartini, tepatnya pada tanggal 21 April. Berbagai kegiatan dilakukan untuk memeriahkan acara tersebut, seperti halnya lomba-lomba memasak bahkan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan intelektual seperti seminar dan diskusi dengan tema eksistensi perempuan di Indonesia misalnya.
Peringatan hari kartini sebagai refleksi bagi kaum wanita dalam berkarya dan berbakti kepada negara Indonesia. Jika R.A. Kartini adalah jiwa dan pikiran yang mewakili kaum wanita Indonesia, maka sejatinya wanita Indonesia membutuhkan lebih dari itu untuk dijadikan panutan dan teladan. Pada hakikatnya semua wanita adalah pahlawan, paling tidak bagi dirinya sendiri dan keluarganya.
Globalisasi tidak bisa dihindari karena sifatnya yang dinamis, ada sesuai perkembangan teknologi dan arus informasi. Perempuan Indonesia telah menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan nyata. Bercermin dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di seluruh belahan dunia,banyak wanita yang justru memanfaatkan kebebasannya untuk hal-hal negatif. Misalnya pergaulan bebas, yang dilakukan oleh orang-orang yang kurang kasih sayang dari orang tuanya dan tidak berpendidikan.
Tak lepas dari misi emansipasi wanita, diperlukan kader-kader bermutu yang bisa diandalkan di masa mendatang. Memaknai perjuangan R.A. Kartini menjadi sangat penting bagi kaum wanita karena beberapa hal. Pertama, memahami makna perlawanan kartini. Kartini adalah simbol perlawanan terhadap kultur dan struktur sosial yang memarginalkan kaum wanita. Perlawanan semacam ini masih sangat diperlukan, mengingat perempuan saat ini masih belum sepenuhnya terbebas dari diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan.
Makna perlawanan seperti ini kurang tampak, meningat pada setiap peringatan hari kartini justru cenderung sarat dengan simbol-simbol berlawanan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan Kartini. Hal semacam itu terlihat dengan seringnya diadakan lomba berhias, memakai kebaya yang merupakan simbol feminine wanita. Peringatan hari kartini, dapat dijadikan momentum untuk memperbaiki presepsi masyarakat tentang perjuangan kartini dalam menaikkan harkat dan martabat kaum wanita, yang dapat digunakan sebagai landasan pergerakan kaum wanita menuju masyarakat yang berkeadilan gender.
Kedua, optimis dalam menghadapi tantangan hidup sebaga wanita sejati. Saat ini, kita berada pada jalur simpang sebuah perjuangan yang dapat membawa diri kita menuju suatu progress bahkan hingga menuju regress. Hingga sekarang, arah perjuangan menuju kesetaraan gender telah diadopsi oleh negara dan secara proaktif diperjuangkan oleh aktivis perempuan. Arus perjuangan ini masih belum bisa dikatakan sempurna, dikarenakan komitmen negara terhadap kesetaraan gender masih belum paripurna. Negara dan kekuatan aktivis pro-perempuan di masyarakat juga belum mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh wanita indonesia. Maraknya kasus pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan serta pelecehan terhadap wanita dan lain sebagainya.
Keberanian dan eksistensi diri harus dimiliki oleh setiap wanita Indonesia. Tanpa keberanian, mustahil suatu tindakan akan dapat terwujud. Memulai seseuatu hal yang baru bukan masalah sulit, tak menutup kemungkinan juga akan mengalami hambatan dan tantangan untuk mewujudkan misi. Optimis dan berani dalam mempertahankan eksistensi sangat dibutuhkan, hingga terwujudnya misi emansipasi seperi yang diperjuangkan Ibu kita R.A. Kartini. Globalisasi menjadikan semua lebih mudah. Tinggal kita, siapkah kita menghadapinya?
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar